InvestigasiMabes.com | Banyuwangi, 17 April 2025 – Seorang wali murid dari Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an menyampaikan kekecewaan mendalam atas terbitnya surat penagihan resmi dari pihak pesantren tertanggal 10 Februari 2025. Surat tersebut menegaskan bahwa santri berinisial M.Y. masih memiliki tunggakan dan mengultimatum agar pelunasan dilakukan tanggal 15 Februari 2025, jika tidak maka santri akan “diistirahatkan” sampai pihak wali murid melunasi.
Padahal, wali murid menyatakan bahwa dirinya telah berkomunikasi secara terbuka dan berkala kepada pihak pesantren melalui sambungan telepon dan WhatsApp, dengan menyampaikan bahwa ia tengah berada di luar wilayah dan belum dapat memenuhi kewajiban pembayaran tersebut tepat waktu. Namun yang bersangkutan tidak pernah menolak tanggung jawabnya, bahkan dengan tegas menyatakan masih berikhtiar dan bersungguh-sungguh untuk melunasi. Bahkan, pengasuh pesantren menyampaikan bahwa tanggal 15 pengurus akan mengantarkan anak kami ke rumah.
Merasa bahwa pihak pesantren tidak mempertimbangkan komunikasi tersebut, serta demi menjaga kondisi psikologis anaknya dan menghindari situasi yang lebih buruk, wali murid akhirnya memutuskan untuk menarik anaknya dari pesantren lebih awal sebelum jatuh tempo penagihan. Ia meminta istrinya untuk menjemput sang anak pada tanggal 14 Februari 2025, satu hari sebelum batas waktu pembayaran.
“Daripada anak saya dipermalukan atau merasakan tekanan psikologis karena ancaman administratif, lebih baik saya ambil dulu sementara. Ini berat bagi kami sebagai orang tua, apalagi saya sedang berada di luar daerah dan tak bisa langsung bertemu pihak sekolah,” ungkapnya dengan nada kecewa.
Wali murid mempertanyakan alasan di balik penerbitan surat penagihan tersebut yang dinilai bersifat “mengancam”, padahal hubungan komunikasi antara pihak wali murid dan pesantren masih berlangsung aktif dan transparan. Ia juga menyayangkan tidak adanya upaya pendekatan personal dari pihak pesantren, yang seharusnya lebih menekankan musyawarah dan empati, mengingat lembaga ini adalah institusi pendidikan berbasis nilai-nilai keislaman.
Surat yang ditandatangani oleh pengasuh pesantren, Musta’in Al Hafizh, memuat pernyataan bahwa jika kewajiban belum dilunasi hingga tanggal 15 Februari, maka santri akan diberhentikan sementara. Hal ini memunculkan keprihatinan di kalangan orang tua, terutama karena pendidikan seharusnya tidak disandera oleh kendala administratif yang bersifat sementara.
Tindakan tersebut dinilai bertentangan dengan sejumlah regulasi pendidikan dan perlindungan anak di Indonesia, di antaranya:
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5 ayat (1): Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan.
Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, yang menyebut bahwa pungutan tidak boleh menjadi penghalang bagi siswa untuk mendapatkan pendidikan.
UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Pasal 9 ayat (1): Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya.
Ancaman pemberhentian santri yang masih aktif belajar karena alasan tunggakan biaya dinilai sebagai pelanggaran prinsip non-diskriminatif dalam pendidikan dan dapat menimbulkan trauma psikologis pada anak.
Saat dimintai konfirmasi oleh media melalui pesan WhatsApp, pihak pesantren, dalam hal ini Ustad Musta’in, justru terkesan meluapkan emosi dan tidak memberikan jawaban yang tenang. Ia menyatakan tidak ingin menanggapi melalui sambungan telepon karena khawatir informasi yang disampaikan bisa disalahartikan. Lebih jauh, ustad tersebut meminta agar pertemuan dilakukan secara langsung dan bahkan menantang untuk mendatangkan seluruh media sebanyak-banyaknya sesuai permintaan wali murid. Dalam pesan suara pangilan WhatsApp, nada suaranya terdengar meninggi dan menyiratkan kemarahan, yang justru semakin menambah kekecewaan pihak Media.
Tim media berharap pihak pesantren dapat melakukan evaluasi mendalam terhadap cara dan nada komunikasi dalam menyikapi keterlambatan pembayaran. Kami mengajak semua lembaga pendidikan untuk lebih mengedepankan empati, komunikasi dua arah, dan pemahaman atas situasi wali murid, bukan semata-mata pendekatan administrasi formal.
Kisah ini menjadi refleksi penting bagi seluruh lembaga pendidikan agar tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan prinsip pendidikan inklusif sebagaimana diamanahkan dalam sistem pendidikan nasional.
(Yanto)