Pada saat pengaruh kecerdasan buatan semakin merambah di sektor industri kreatif, film animasi masih membuktikan dirinya sebagai konten yang tetap penting dan kompetitif. Walaupun teknologi AI bisa menghasilkan gambar, audio, serta narasi dengan sendirinya, produksi animasi oleh manusia memberikan elemen unik yang tidak ternilai: ekspresi emosi, kreasi tanpa batas, dan estetika seni yang kuat.
Film animasi asli Indonesia berjudul ‘Jumbo’ oleh Visinema Animation sukses mengatasi tantangan tersebut dan mendapatkan pencapaian gemilang di tanah airnya sendiri. Dengan arahan sutradara Ryan Adriandhy, produksi ini meraih status sebagai film animasi paling banyak ditonton sejauh ini, melebihi angka 1,6 juta penonton hingga tanggal 10 April 2025, kurang dari satu minggu setelah dirilis pada 31 Maret 2025.
“Ini membuktikan bahwa animasi buatan tangan tetap memiliki pesona besar, meskipun ada tren menggunakan AI serta dampak dari studio animasi internasional semacam Studio Ghibli,” ungkap Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi saat berbicara dengan Tirto pada hari Kamis, 10 April 2025.
Menurut Heru, Jumbo mampu menyedot perhatian audiens tidak hanya berkat tampilannya yang luar biasa, namun juga lewat narasi yang mendalam, umum, serta bermakna. Film tersebut membawa kenangan masa lalu, mencantolkan prinsip-prinsip seperti persahabatan, keberanian, dan percaya diri, hal itu sangat sesuai untuk penonton semua kalangan. Jumbo menggunakan metode sejenis, akan tetapi dilengkapi dengan unsur-unsur lokal yang signifikan, contohnya pengaturan tempat di desa dan tokoh-tokoh yang dekat hatinya dengan pemirsa dalam negeri.
“Seperti yang kita pahami, AI walaupun dapat membuat animasi dengan cepat dan efektif, umumnya kurang memiliki ‘jiwa’ atau emosi yang sejati,” katanya.
Film animasi ini mengungkapkan bahwa nilai seni autentik, yang mencakup pengalaman kreatif intens, naratif, serta ciri unik pribadi, tak lekas digantikan oleh teknologi AI. Selain itu, film Jumbo diperkuat dengan dorongan besar dari komunitas Indonesia, yang berbangga dapat menyaksikan hasil kerja animasi dalam negeri bertaraf internasional.
Pakar Komunikasi Digital dari Universitas Indonesia (UI), Firman Kurniawan, menyebut bahwa untuk menciptakan suatu karya, seperti film animasi berjudul Jumbo, tidak perlu cemas bersaing dengan kecerdasan buatan (AI). Menurut dia, saat ini, kapabilitas yang dapat dijalankan AI masih tergolong terbatas dalam hal teknik.
“AI hanya sampai di situ, namun ide-ide bersifat abstrak masih belum dapat diproduksi oleh AI. AI tidak memiliki pemikiran atau niat untuk mengembangkan narasi spesifik, itulah batasan dari AI,” terangnya ketika ditemui oleh Tirto pada hari Kamis, 10 April 2025.
Meskipun terbatas, Firman mengatakan bahwa AI sebenarnya cukup canggih. Saat seseorang dapat menyampaikan pembaruan ide mereka melalui prompt, AI akan mentransformasi itu menjadi sebuah karya yang sangat menarik. Dalam kasus ini, AI dengan cara tertentu merangkaikan ide-ide dari pikiran manusia dan kemudiannya merealisasikannya.
“Tetapi sebenarnya AI tidak selalu lebih baik, tidak selalu dapat dipastikan untuk menang, mungkin saja demikian, karena dalam setiap karya terdapat ide di belakangnya, hal ini masih di luar jangkauan AI,” katanya.
Opportunitas dan Tantangan bagi Seniman
Karena itu pula, keberhasilan film animasi Jumbo diharapkan dapat memberi peluang pada industri animasi Indonesia agar semakin maju. Hal ini berpotensi menjadikan patokan baru serta sumber motivasi bagi para pemodal dan perusahaan produksi lainnya. Film tersebut mengungkap adanya pangsa pasaran untuk konten animasi bermutu tinggi hasil dalam negeri, sehingga memicu peningkatan dana untuk projek-projek sejenis.
“Artinya, kesempatan pekerjaan bagi animator, desainer visual, serta ilustrator dapat bertambah, khususnya apabila sektor tersebut terus mensupport bakat dalam negeri,” ungkap Heru Sutadi dari ICT.
Namun demikian, menurut Heru, ancaman dari AI masih sangat nyata bagi para pekerja di bidang seni. Terdapat ketakutan bahwa baik pemerintah maupun perusahaan mungkin akan cenderung menggunakan teknologi AI demi mencapai efisiensi dan penghematan biaya, hal ini dapat berpotensi mengurangi lapangan kerja untuk animator manusia. Kendati demikian, bahkan animasi otomatis pun memiliki kemampuan untuk mengambil alih sebagian besar tugas-tugas kreatif yang bersifat konvensional tersebut.
Sebagai contoh, pada Pemilu 2024 kemarin, penggunaan teknologi Generative AI cukup marak, bahkan digunakan untuk membuat versi animasi dari pasangan calon presiden dan wakil presiden. Pasangan nomor urut dua, yaitu Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka—yang saat ini telah menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia—menggunakan beragam materi kampanye seperti gambar animasi yang memiliki penampilan agak gemuk atau chubby.
“Akan tetapi, AI haruslah sebagai sarana penopang, bukannya substitusi bagi kecergihan kreatif manusia,” tambahnya.
Masalah lainnya berkaitan dengan kesejahteraan para pekerja di bidang kreatif. Terdapat keprihatinan terkait upah bagi animator-animator Jumbo, karena proyek skala besar ini mempekerjakan ribuan individu dalam kurun waktu lima tahun. Apabila sektor tersebut gagal memberikan pendapatan yang pantas, potensi bakat hebat kemungkinan akan beralih menuju projek bebas ataupun pindah ke industri lain semisal permainan video.
Oleh karena itu, nasib para profesional visual, desainer, serta ilustrator di Indonesia ke depannya sangat tergantung pada kapabilitas mereka dalam menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi, menguatkan ekosistem industri lokal, serta meraih dukungan yang lebih optimal dari pihak pemerintahan dan investor.
“Suksesnya Jumbo merupakan titik awal yang menggembirakan, namun tantangan seperti persaingan dengan teknologi AI serta masalah kesejahteraan masih harus dituntaskan agar dapat menjamin pertumbuhan berkelanjutan pada industri animasi Indonesia,” ungkapnya.
Setuju dengan Heru Sutadi, Direktur Regulasi dan Etika dari Indonesia AI Society (IAIS) bernama Henke Yunkins, menyatakan bahwa perkembangan kecerdasan buatan (AI) memberikan tantangan unik bagi mereka yang bekerja di bidang industri kreatif. Meskipun AI bisa menciptakan peluang baru, tetapi teknologi ini juga berpotensi mengancam karier seniman, desainer, serta ilustrator.
Karena, pada masa kini, automatisasi dalam bidang seni berkat kecerdasan buatan berkembang dengan pesat. Terbaru saja, tim peneliti dari sejumlah perguruan tinggi di Amerika berhasil membuat animasi Tom & Jerry selama satu menit yang memiliki kualitas lumayan bagus, hanya melalui proses pemrompting (menggunakan metode pelatihan waktu-uji atau Test-Time Training).
“Berdasarkan hal tersebut, kemajuan-kemajuan semacam itu bisa jadi merupakan ancaman yang sungguh-sungguh bagi para pekerja di bidang industri kreatif,” ungkapnya saat berbicara dengan Tirto, pada hari Kamis, 10 April 2025.
Pribadinya, Henke memang belum memiliki jawaban pasti tentang nasib para pekerja kreatif mengingat perkembangan cepat dari teknologi AI dalam bidang industri kreatif. Menurut dia, solusi seperti pelatihan ulang atau penyesuaian diri terlihat kurang pas dan tak cukup efektif karena permasalahan ini lebih kompleks daripada sekadar kekurangan keterampilan individual; ia merujuk kepada tantangan sistematik seperti konsetrasi kuasa dan modal pada entitas besar serta ketidaktentuan model kerja dan ekonomi.
“Maka, salah satu tindakan yang perlu dilakukan adalah mencari solusi untuk membagi penggunaan AI dalam sektor kreatif,” ungkapnya.
Meskipun demikian, ia merasa bahwa hal tersebut bukanlah perkara sederhana lantaran industri ini mencakup aktivitas bisnis, dimana tujuannya utamanya ialah mendapatkan laba. Perjalanan menuju transformasi ini pun bakal memunculkan berbagai hambatan struktural seperti adaptasi terhadap konsep bisnis yang baru, pergolakan nilai-nilai artistik dalam kalangan seniman serta publik secara luas, dan risiko potensial dari pekerjaan kreatif menjadi dieksploitasi akibat bergesernya fokus pada efisiensi dan standarisasi atas dasar pengorbanan individualitas dan sentuhan pribadi.
Lalu beralih kembali ke titik pentingnya, mengobservasi kesuksesan film animasi “Jumbo”, produksi terkenal dari Studio Ghibli, serta ‘Nezha 2’ yang mencatatkan rekor sebagai film animasi dengan pendapatan tertinggi sebesar 2,1 miliar dolar AS, dapat disimpulkan bahwa karakter manusia tetap memegang peranan sentral.
Keberhasilan proyek-proyek itu membuktikan bahwa kreativitas manusia, cerita yang kuat dan istimewa, serta komitmen pada detil-detailnya masih merupakan faktor penting untuk menciptakan hasil kerja yang sungguh-sunguh memotivasikan dan bermakna.