InvestigasiMabes.com l Saumlaki — Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Polres Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT) Provinsi Maluku diduga kuat tabrak Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dan cederai Memorandum of Understanding (MoU) antara Dewan Pers dan Kapolri. Inikah sebuah indikasi upaya pembungkaman terhadap kebebasan Pers ?
Dugaan kuat tersebut mencuat ketika Handry Dwi Azhari, S.T.K., S.I.K., selaku Kasat Reskrim Polres KKT melayangkan surat panggilan resmi kepada dua wartawan yakni HY dengan nomor S.Pgl/257/VIIRES.1.19./2024/Satreskrim dan MI dengan nomor S.Pgl/258/VII/RES.1.19./2024/Satreskrim yang didistribusikan pada Selasa, 9/7/2024.
Sebagai mahasiswa aktif pada semester 7 (tujuh) prodi Hukum Universitas Lelemuku (Unlesa) Saumlaki, keduanya (HY & MI) mengaku menyayangkan surat panggilan tersebut.
“Sejujurnya, Beta (saya) saat baca isi surat panggilan itu bertanya; “Apakah beta yang dimaksud sebagai penerima surat dimaksud ataukah direktur media tifatanimbar karena Katong dua (kami berdua) kembar nama. Alamat tempat tinggal pun sama, Desa Sifnana,” ujar HY.
Dirinya menambahkan, beberapa hal teknis administratif lain yang juga terlihat lucu bahkan membingungkan.
“Tanggal surat tidak ada, ketepatan hari dan tanggal pengambilan keterangan saksi keliru, nama dan alamat MI juga keliru dalam penulisannya. Juga, Polda Maluku hanya tertulis PODA MALUKU. Sungguh memalukan kalau administrasi resmi institusi negara sekelas Polri di Polres KKT jadinya seperti ini,” heran-nya.
Bahkan lebih fatal lagi, dirinya mengaku sangat kaget saat membaca kalimat “untuk didengar keterangannya sebagai SAKSI dalam perkara pasal 386 ayat (1) Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana,” imbuhnya.
Mahasiswa hukum Unlesa semester 7 ini lantas berujar, “Beta seng (saya tidak) salah baca tulisan pasal 386 KUHPidana ini kah? Ini kesalahan teknis ataukah sebuah kode alam? Menarik juga ini,” tambah MI dengan senyum santai tergambar di wajahnya.
Sebagaimana diketahui, isi Pasal 386 ayat (1) yakni “Barangsiapa menjual, menawarkan atau menyerahkan barang makanan, minuman, atau obat–obatan yang diketahui bahwa itu dipalsukan, dan menyembunyikan hal itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
Selain mengaku aneh dan lucu, MI spontan bertanya, mungkinkah ini sebuah fakta pencemaran nama baik secara tertulis yang dilakukan oleh pihak Polres KKT serta upaya pembungkaman terhadap kebebasan Pers ?
Dirinya (MI) lebih lanjut menyatakan,
“Sebaliknya, apabila yang dimaksud Kasat Reskrim Handry adalah pasal 368 pasal (1) KUHPidana maka inilah dugaan sangat kuat bahwa UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang kebebasan pers ditabrak. Apakah MoU antara Kapolri dan dewan pers telah dicederai ?,” ungkapnya penuh tanya.
Di sisi lain, Handry Dwi Ashary yang berhasil ditemui media ini akhirnya memberikan tanggapannya pada Kamis, 11/7/2024 pukul 15:25 WIT.
Saat dikonfirmasi soal korelasi YR selaku tersangka berdasar pasal 368 dan surat panggilan sebagai saksi terhadap dua wartawan tersebut, begini penjelasan Handry;
“pastinya panggilan ini bukan terkait pemberitaan, ya mungkin kebetulan aja mereka (HY & MI-red.) kenal dengan yang disangkakan itu,” terangnya.
Lanjut Handry, “memang saya udah tanya teman-teman di Ambon, juga beberapa wartawan senior di Saumlaki. Bahkan kemarin, ada beberapa wartawan yang juga kami panggil sebagai saksi. Dalam hal proses penyidikan itu kan semua ada dasarnya. Kita bisa manggil orang tanpa surat dalam hal peyelidikan. Tapi saat penyidikan, namanya administrasi itu tetap ada dan kami sampaikan sebagai laporan bahwa penyidik memang sudah melakukan upaya pemanggilan terhadap warga negara yang baik nih. Memang saksi yang bisa hadir itu berarti saya anggap dia sebagai warga negara Indonesia yang baik,” jelasnya.
Didampingi Kanit Polsek Wermaktian Bripka Freski Mouw, dalam ruangan ber-AC-nya Handry Dwi Ashari berkomentar singkat, “mungkin dari keterangan beliau – beliau ini siapa tahu bisa meringankan beban tersangkanya. Jadi, silahkan dikoordinasi ya,” imbuhnya.
Terhadap penjelasan Handry tersebut, HYY salah satu rekan media ini memberikan tanggapannya.
“Laporan resmi seorang wartawan adalah pemberitaanya. Kalau saja HY & MI dipanggil sebagai saksi itu tidak ada hubungannya dengan profesionalitas mereka selaku insan pers dan pemberitaan media, lalu penerapan pasal 368 yang dimaksudkan pihak Polres KKT itu kan merupakan bingkai persoalannya”.
Di tempat berbeda, dirinya (HYY) lanjut mempertanyakan kejelasan surat panggilan itu.
“Apakah hanya sebuah kebetulan seperti yang dijelaskan Kasat Reskrim? Bukankah UU No.40 Tahun 1999 termasuk Lex Specialis? Lalu, bagaimana dengan Lex specialis derogat legi generali? Apakah pantas insan pers dijadikan saksi atas produk pemberitaannya sendiri?” ketusnya.
Untuk diketahui, Lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa Lex Specialis (hukum yang bersifat khusus) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).
Terhadap surat panggilan yang telah dititipkan kepada HY dan MI tersebut, amanat Pasal 1 ayat (10) dan Pasal 4 ayat (4) UU Nomor 40 Tahun 1999 bisa dilihat sebagai jawabannya.
Pasal 1 ayat (10) mengamanatkan bahwa “wartawan, berdasarkan sifat profesinya, memiliki Hak Tolak, yaitu hak untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakan”.
Di samping itu, pasal 4 ayat (4) UU juga mengamanatkan, bahwa “dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak”.
Terhadap sejumlah pertimbangan diatas, media ini pun telah beberapa kali membangun komunikasi dengan Olof Batlayeri selaku Kasie Humas Polres Kabupaten Kepulauan Tanimbar sebagaimana wujud pelaksanaan MoU antara Dewan Pers dan Polri Nomor : 03/DP/MoU/III/2022 – Nomor : NK/4/III/2022 yang ditandatangani oleh Ketua Dewan Pers Prof. Dr. Ir. Muhammad Nuh, DEA dan Kapolri Jenderal Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si di Jakarta pada hari Rabu, 16/3/2022. (IM.Tim)