investigasimabes.com
– Dugaan skandal pemberian suap dalam proses hukum terkait ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak kelapa sawit mentah yang diungkap oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) sedang menjadi fokus perhatian masyarakat. Hal ini semakin menggores citra institusi pengadilan, karena melibatkan empat hakim yang disinyalir menerima sejumlah uang sebagai imbalan.
Ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengharapkan agar penyelenggara hukum dapat menyingkap jaringan di balik sistem peradilan. Ini disebabkan oleh keputusan dalam kasus pengurangan hukuman untuk tersangka CPO, dimana diperkirakan ada indikasi tindak pidana korupsi seperti memberikan suap.
Kejaksaan Agung telah menyebut sebanyak tujuh individu sebagai tersangka dalam kasus diduga penyuapan putusan bebas untuk ekspor CPO yang melibatkan tiga perusahaan, yaitu PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, serta PT Musim Mas Group. Diantara mereka adalah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta; Panitera Muda Pengadilan Negeri Jakarta Utara Wahyu Gunawan; dan juga pengacara bernama Marcella Santoso.
Di samping itu, Kejaksaan Agung juga mengidentifikasi tiga hakim sebagai tersangka. Tiga individu tersebut adalah Djuyamto yang bertindak sebagai ketua majelis hakim, disertai oleh Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom sebagai hakim anggotanya.
“Beginilah bentuk nyata dari jaringan korupsi sistem hukum modern di mana sejumlah besar hakim menerima upah berlipat ganda, yaitu 100 kali lebih banyak dibandingkan pendapatan biasanya,” ungkap Fickar kepada media pada hari Selasa (15/4).
Dia mengamati, cukup masuk akal jika publik meragukan keputusan pembebasan atau penghentian kasus korupsi terkait fasilitas ekspor CPO sejak awal. Dicurigai, tiga hakim yang menanganinya menerima aliran dana suap dengan jumlah mencapai Rp 22 miliar.
“Sudah seharusnya masyarakat meragukan hal tersebut, dan alasan mereka untuk mencurigainya sah-sah saja,” kata Fickar.
Kejanggalan atas seluruh vonis tersebut sungguh dianggap cukup masuk akal. Oleh karena itu, tak mengherankan apabila setiap putusan yang sudah ditentukan oleh para hakim itu dipertanyakan dan diragui bahwa semuanya bertujuan penuh dalam mewujudkan keadilan.
Misalkan, dalam konteks ini adalah keputusan di pengadilan pra-adil terhadap pencopotan status tersangka dari Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebabnya, Djuyamto bertindak sebagai hakim tunggal dalam persidangan pra-adil yang diselenggarakan berdasarkan permohonan Hasto Kristiyanto.
“Bisa jadi semua keputusannya dipengaruhi oleh suap,” ucap Hadjar dengan tegas.
Sebaliknya, peningkatan jumlah hakim yang menerima suap bisa menggoreskan citra pengadilan. Karenanya, Fickar merasa kurang optimis bahwa tindak pidana hakim-hakim tersebut akan berhasil dihentikan. Hal ini disebabkan karena pelaku melakukan kejahatan secara berkelompok dan memiliki pola tertentu dalam melancarkannya.
“Memperbaikinya sangat sulit karena masalahnya telah menjadi sifat yang berakar kuat mulai dari tingkat atas sampai ke bawah. Itu adalah perilaku mereka. Sudah melekat erat dalam diri mereka bahwa segala keputusan harus diiringi dengan pemberian suap,” katanya.
Fickar melihat bahwa tidak hanya vonis pengadilan yang mengenakan denda. Vonis pidana dengan adanya sanksi denda dianggap memiliki potensi menjadi suatu bentuk manipulasi. Oleh karena itu, dia menyarankan agar Mahkamah Agung (MA) mencopot seluruh hakim dan merekrut hakim-hakim baru serta hakim ad hoc.
Perlu menentukan pedoman tentang gabungan antara hakim profesional dengan hakim sementara dalam sidang. Namun, tantangan nyatanya adalah bahwa hakim sementara juga bisa menerima suap. Fenomena serupa cukup umum terjadi di pengadilan-pengadilan besar tempat kasus-kasus bisnis berpotensi tinggi, demikian katanya.